Iklan

Banner 728x90px

Qua Vadis Perencanaan Pembangunan dan Pelayanan Publik Daerah



Guna menyerap masukan dan sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan publik, setiap pemerintah daerah telah melaksanakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Tahun 2022 yang di mulai dari rembug warga atau pra musrenbang, musrenbang tingkat kelurahan/desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi dan sampai ke tingkat nasional. Musrenbang merupakan bagian dari proses penyelenggaraan sistem pembangunan nasional yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan dijabarkan lebih lanjut melalui PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Musrenbang di daerah sebagai wujud dari semangat pembangunan yang bersifat bottom up akan menghasilkan rancangan atau pedoman Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun depannya. RKPD ini nantinya akan dibahas lagi sebagai bahan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) hingga rencana kerja anggaran dan sampai ke penyusunan APBD 2022.

Pada umumnya, kegiatan musrenbang lebih fokus pada perencanaan pembangunan daerah, namun jika dilihat dari perspektif pelayanan publik, sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 39 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan musrenbang dapat digunakan sebagai wadah penyusunan standar pelayanan, sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan.

Banyak harapan yang muncul agar kegiatan musrenbang ini benar-benar bisa menyerap kebutuhan masyarakat, memenuhi hak masyarakat sebagai pengguna layanan dan sebagai pengawas eksternal dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sebab musrenbang ini bisa dikatakan sebagai cikal bakal untuk penyusunan APBD pemerintah daerah, sehingga sangat ideal jika menambahkan substansi penyusunan standar pelayanan publik sebagai bentuk wadah partisipasi masyarakat. Apalagi musrenbang tersebut sudah dimulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten sampai provinsi. Artinya, aspirasi dan kebutuhan masyarakat dari tingkat lingkungan desa dan kelurahan sudah masuk ke sana.

E-Musrenbang vs Perencanaan Partisipatif Masyarakat

Lingkup utama dari proses dan kegiatan perencanaan adalah public domain, di mana persoalan-persoalan yang dihadapi bersifat multisektor dan melibatkan berbagai stakeholder (multiaktor) terkait dengan objek perencanaan yang dihadapi. Dalam lingkup publik ini, berbagai kebutuhan dan kepentingan saling berbenturan, sehingga terkadang sulit untuk menetapkan alternatif dalam merumuskan solusi atau sulit mengambil keputusan. Berkaitan dengan public domain ini, beberapa fakta menunjukkan terjadinya kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah dalam menyediakan barang serta pelayanan publik. Kegagalan pasar ini disebabkan oleh adanya eksternalitas dan asimetri informasi dalam pasar sempurna, dengan kata lain terjadi monopoli dan adanya kegagalan pemerintah dalam mengatasi dan mengintervensi kegagalan pasar tersebut. Kegagalan pemerintah merupakan kegagalan intrinsik dari proses demokrasi perwakilan, birokrasi dan pengambilan keputusan. Di sisi lain, muncul anggapan atau pandangan yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah salah satu cara untuk menutupi kegagalan pemerintah.

Musrenbang yang telah berjalan juga menggagas usulan program prioritas tahun ke depan dan menariknya lagi musrenbang tahun sebelumnya, misalnya ini merupakan untuk merencanakan program dan kegiatan terakhir di masa berakhirnya kepala daerah. Seharusnya fokus musrenbang setiap tahun dapat menghasilkan usulan, gagasan rencana pembangunan dan perencanaan partisipasi masyarakat dalam hal peningkatan kualitas pelayanan publik yang nantinya harus disesuaikan dengan visi dan misi kepala daerah.

Ini menarik, sebab jauh-jauh hari pemerintah daerah sudah mencanangkan fokus pembangunan dan perbaikan pelayanan publik ke depan. Hanya saja muncul kekhawatiran apakah prioritas itu nantinya bisa diwujudkan atau tidak. Ini tidak terlepas dari pelaksanaan musrenbang yang justru terkesan hanya memenuhi tuntutan undang-undang saja.

Kemudian dari sisi filosofi pembangunan, seharusnya apa yang tertuang di dokumen musrenbang adalah hal-hal yang memang sudah menjadi kebutuhan masyarakat atas partisipasinya, bukan keinginan masyarakat. Musrenbang sejatinya adalah forum yang sangat berwibawa dan legitimate dalam upaya menyerap aspirasi masyarakat. Karena di sana berkumpul para stakeholder, maka hasilnya seharusnya adalah kebutuhan. Tapi banyak kasus yang terjadi, musrenbang justru hanya mencatat dan mendata keinginan-keinginan masyarakat di lingkungannya.

Jadi, pendekatan keinginan justru lebih menonjol dibanding pendekatan kebutuhan, sehingga kerap terjadi yang muncul itu adalah shopping list (daftar belanja). Masyarakat sebenarnya membutuhkan bantuan modal usaha rumah tangga, tapi karena musrenbangnya tidak efektif maka yang muncul adalah permintaan alat-alat olah raga atau alat-alat nasyid. Masyarakat misalnya butuh bantuan fasilitas pelayanan publik di tingkat kewilayahan, fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dikelola oleh pemerintah daerah seharusnya menjadi prioritas perbaikan pelayanan publik yang direncanakan dalam musrenbang.

Itu semua terjadi karena faktor keinginan tadi, bukan karena kebutuhan. Ya, analoginya, kita semua pasti ingin memiliki tiga atau empat mobil padahal kebutuhan kita hanya satu mobil. Begitu juga pembangunan yang terjadi hari ini. Pendekatan keinginan lebih mendominasi daripada faktor kebutuhan.

Di sini jugalah musrenbang sering salah kaprah. Kegagalan musrenbang dan kegagalan pembangunan pada umumnya salah satunya dikarenakan kegagalan menyerap apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat. Makanya program prioritas yang di atas tadi harus muncul karena memang sudah menjadi kebutuhan masyarakat, bukan karena keinginan tapi harus berdasarkan kebutuhan masyarakat.


Musrenbang vs Reses


Hasil musrenbang yang nantinya menjadi bahan dalam penyusunan APBD tentu saja tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pihak legislatif. Sebab lembaga itulah nanti yang akan mengesahkan APBD tersebut. Dalam konteks ini tarik-menarik kepentingan sering terjadi. Musrenbang adalah domainnya pemerintah, tapi dewan dalam perspektif pelayanan publik adalah sebagai pengawas eksternal penyelenggaraan pelayanan publik, serta memiliki media dan saluran dalam upaya melakukan, menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Namanya reses. Lewat reseslah para anggota dewan menyerap dan menindaklanjuti aspirasi/partisipasi masyarakat atau konstituennya.

Karena kewenangan pengesahan APBD dan juga sebagai legislator ada pada dewan, tentu saja mereka punya kewenangan untuk mewujudkan kebutuhan masyarakat dalam hal peningkatan kapasitas pelayanan publik. Para anggota dewan pasti tidak mau dicap tidak menyahuti aspirasi masyarakat, sehingga hasil reses memiliki suatu daya tekan untuk merealisasikan kebutuhan masyarakat dalam peningkatan kapasitas pelayanan publik dan rencana pembangunan daerah yang dituangkan dalam APBD.

Alhasil pemerintah daerah harus memiliki mekanisme atau standar operasional prosedur agar usulan dari musrenbang dapat direalisasikan berdasarkan alur mekanismenya. Sehingga setiap pemerintah daerah dapat mempertanggungjawabkan dan memberikan informasi realisasi hasil pelaksaan dari musrenbang tersebut. Political will dari pemerintah daerah juga dituntut untuk lebih mengedepankan kebutuhan masyarakat dibanding kepentingan atau keinginan sekelompok orang. Sebab, dengan cara seperti inilah pertanyaan mau dibawa ke mana (quo vadis) hasil musrenbang itu bisa terjawab. Kalau tidak, musrenbang hanya akan jadi rutinitas pemenuhan tuntutan undang-undang saja. Semangat perencanaan yang bottom up dengan pelibatan partisipasi masyarakat itu pun bisa jadi akan sia-sia. (*)


Noer Adhe Purnama, SH., MH
Asisten Muda Ombudsman Republik Indonesia
Dewan Pakar Pemuda Pancasila Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar